Hate U So Much
Saya adalah orang yang bersikap tergantung mood. Saat mood sedang bahagia, saya bisa tersenyum sepanjang hari [note: bukan seperti orang gila]. Saat sedang marah, sebagian besar waktu dihabiskan dengan diam; bukan berarti saya tidak akan bekerja tetapi bekerja dalam diam alias nggak banyak berinteraksi jika tidak diperlukan. Seorang dosen mengatakan habit saya ini dengan istilah moody dan itulah yang saya gunakan untuk menggambarkan diri saya, moody.
Mood ini juga berpengaruh dengan banyak tidaknya saya ngomong. Saya akan berbicara banyak hal jika memang dalam mood yang cerah ceria. Sebaliknya, saya tidak akan menanggapi hal-hal yang bagi saya tidak penting saat mood sedang mendung. Tapi sebenarnya, mood saya juga bisa berubah tergantung konteks. Seperti di hari Sabtu kemarin (11/12).
Hari itu, saya pergi bekerja lebih awal dengan mood yang ceria. Saya menghadap komputer di kantor dan mengetik seperti biasa. Ada seorang anggota kantor baru [jenis kelamin cowok] tiba-tiba mendekat dan berbicara banyak hal. Saya akui, anak ini memiliki banyak topik untuk dibicarakan dan, sayangnya, sebagian besar, saya tidak tertarik. Ketika sudah berbicara banyak hal dan melihat saya tidak terlalu tertarik untuk berbicara lebih jauh, dia pun mengganti topik [like always]. Topik baru yang akhirnya membuat mood saya menjadi hitam kelam dan sadar betapa bencinya saya pada cowok satu ini.
Dia bertanya, “Mbak, foto sampean di twitter itu foto tahun berapa?”
Karena tidak mencium gelagat aneh, saya pun menjawab, “Gak inget juga, tahun berapa ya? Mungkin sekitar 2008.”
“Kok wajah sampean masih Lamongan banget.”
Sampai sini, saya juga masih belum mencium gelagat aneh.
“Maksudnya?”
Dia pun menjelaskan dengan diiringi senyum aneh, “Iya, wajah sampean seperti kebanyakan orang Lamongan yang sering terbakar terik matahari.”
Jedhuaaaaaaar...!!!!
Sumpah, kalau saja saya saat itu lepas kontrol dan lupa di tempat apa saya sedang berada, saya pastikan akan menampar dia dengan keras.
Bukan tidak terima dengan apa yang dia katakan. Saya hanya ingin dia lebih memikirkan lagi apa yang akan dia luncurkan dari bibirnya yang seperti cewek itu. Seharusnya dia berpikir dan memilih kata-kata terlebih dahulu sebelum berbicara dengan saya yang lebih tua dibanding dia. That’s it! Manner! And I think he doesn’t have it!
Saya akui tidak memiliki kulit putih bersih layaknya teman-teman cewek lain. Tapi itu tidak lantas membuat saya akhirnya memilih pergi ke beauty center, seperti teman lainnya, untuk memutihkan wajah.
Apa saya merasa terhina?
Jelas. Apalagi dia bawa-bawa nama Kota tempat saya tinggal, Lamongan. Hellooo..! secara tidak langsung dia mengeneralisasi bahwa orang Lamongan berkulit gelap donk. Sh*t!
Walaupun saya tidak lahir dan tumbuh besar di Lamongan, it’s still my hometown, after all.
Rasanya dia harus bersyukur saya tidak membalas dengan ucapan ketus saya yang bisa jadi lebih parah. Saya hanya tidak ingin membuat imej negatif di hadapan junior tak bertata krama ini.
Jujur, kesan pertama saya pada cowok satu ini awalnya bagus karena dia terlihat supel dibanding anak-anak baru lainnya. Beberapa kali bertemu, kesan saya menjadi agak sedikit aneh. Intensitas obrolan yang terlalu banyak membuat saya berpikir, “Apa dulunya ketika mengandung, Ibunya mengharapkan anak cewek?” Saya hanya tidak merasa sreg ketika melihat seorang cowok yang terlalu banyak bicara. Satu lagi, tak hanya banyak bicara, dia pun sering melontarkan kalimat yang mungkin tidak dipikir dulu. Saya rasa itu adalah salah satu keahlian dia sebagai manusia.
Salut!
Saya salut karena dia berhasil merubah mood saya 100% hari itu. Salut karena hanya dia cowok aneh yang pernah saya temui. Salut karena hanya dia cowok yang tidak ingin saya temui lagi. Salut karena dia terlalu cepat masuk dalam people-I-hate-the-most list.
USA33, 12 Februari 2012
Hey... I really really hate you!
Komentar
Posting Komentar