BUKAN UNTUK DIMAKLUMI, TAPI DISADARKAN


Sebagai orang yang sejak MTs/SMP hingga lulus kuliah tinggal di pondok pesantren, ada banyak hal yang saya pelajari selain ilmu agama. Bersosialisasi. Ya karena di pesantren gak mungkin saya sorangan yang tinggal dan krik-krik di sana kan? ^.^
Esensi tinggal bersama dengan orang lain bukan hanya sekedar tahu bahwa kita harus berbagi kamar dan berbagi makanan (kalo ada). Yang lebih penting dari itu ialah (#AgakSerius nih) tahu bahwa ada orang lain di sekitar kita dengan beragam karakter. Saya pun banyak menemui beragam karakter ajaib selama hampir 11 tahun di ma’had. Begitupun teman saya yang juga menemukan bahwa saya adalah makhluk ajaib dengan moody yang luar biasa anehnya hehehe...

Gak cuma di dalam pesantren. Setelah memutuskan untuk ngekos, saya menemukan lagi bahwa ada teman-teman yang sifatnya jauh lebih ajaib dibanding yang mondok. Saya juga menemukan bahwa ada kehidupan lain (bukan gaib) yang memberikan semacam culture-shock untuk saya. Ooh... gini ya rasanya ngekos. Both are COMPLETELY different. I think so.
Setuju untuk tinggal BERSAMA orang lain berarti setuju untuk memBAUR dan itu juga artinya, we have to leave our ego behind. Kenapa jadi masuk ke ego? Ya, manusia dengan segala sifat ajaib pasti memiliki level egoisme. Ada yang controlled dan uncontrolled.
Alhamdulillah kalo ketemu sama teman yang bisa mengendalikan egonya dengan sangat santun. Artinya nih orang gak bakalan bermasalah. Orang kayak gini juga bakal mikir hundreds times untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang sekitarnya. Kalopun dia buat masalah, gak bakalan sering. You can make friend with this kind of people.
Astaghfirullah-nya kalo apes nemu dan (lebih apes lagi) tinggal dengan makhluk yang ego-nya benar-benar mengkontrol jiwa. Ya. Itu artinya saking besarnya ego yang dia miliki, justru ego itu yang mengontrol setiap kelakuannya. Apapun yang ingin dia lakukan, she/he will just do that. We like it or not, pokoke kita harus menerima. Have you seen such person? I hope not. No way. Amit-amit. *ketok2kepala*
But it happened to me... Hwaaaaa.. Mamaaaaaa’! Tolooong! Did I do any wrong?
At first, saya kira tidak banyak yang terganggu dengan kebiasaan ‘lakukan dalam 1 jam’-nya karena tidak pernah saya dengar protes dari teman-teman. Malah saya sempat mikir, “Apa cuma saya yang merasa terganggu ya?” Akhirnya saya menahan diri untuk tidak menegurnya.
Lha kok tetap kayak gitu. Akhirnya saya mencoba menyampaikan pendapat itu pada rapat penghuni rumah. Semua terdiam dan saya pikir, “Waduh gawat. Jangan-jangan sekarang orang rumah bakalan berpikir kalo saya yang lebay.” Agak keder karena saya orang baru (saat itu baru dua bulan) di rumah.
Reaksi yang saya dapat, “Sebenarnya itu sudah permasalahan lama, itu juga sebenarnya jadi masalah... bla bla bla...”
OK. So, ini adalah masalah yang berakar-akar. Sampai pernyataan itu saya pun agak pengen berontak tapi gak enak sama yang lain. Tapi, kalimat selanjutnya yang memuat solusi terdahulu untuk that person (gak usah lah nyebut namanya, bikin emosi) malah buat amarah saya yang hampir mereda, naik lagi.
Solusi apaan tuh?
Mungkin dan bisa jadi bagus. Tapi ya gak mungkin toh kalo dilakukan. Buktinya that person gak menjalani solusi tersebut dan tetap pada kebiasaan ‘lakukan dalam 1 jam’. It means, the solution was NOT good AT ALL! Totally MESSED UP! Totally WEIRD!

Sekarang sudah lebih setahun saya jadi bagian dari rumah. The worst thing, orang-orang rumah seakan mencoba untuk memaklumi kebiasaan merugikan that person. They did protest, but they did it behind. That’s the worst thing I hate in this house. Why do they only protest behind that person’s back instead of trying to fix her habit? Why don’t they realize that the action only worsen the condition? And it also destructs that person slowly and completely.
Apa that person tidak pernah benar-benar menyiapkan diri sebelum memutuskan untuk mandiri dan tinggal bersama orang lain yang bukan keluarganya. Oke lah kalo keluarganya memaklumi, tapi kami bukan part of your family tree. Sepertinya terlihat jahat kalo saya tidak menganggap dia keluarga, padahal (katanya) teman juga keluarga.
Hey, wake up! Gimana mau dianggap keluarga kalo dia bahkan gak anggap kita ada? She does what she wants. She just does it without considering anything. What people think is not so important for her as long as she’s happy (is that so, huh?).
*calmingdown*
Please... someone, make her realize.
Please... please wake her up.
Maybe she’s been SLEEPING until now.
I can’t stand it anymore.
I don’t even want to think her around.
Sorry. I also have my ego. NOT ONLY YOU, little immature girl.
SORRY!

Kepala Lagi HOT, Everyday in the house

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Timun Emas: Nenek Gak Sabar, Buto Ijo Gak Ikhlas

Friendship Life [Part IV]