Masa berGEMA
Lanjut tulisan sebelumnya. Setelah resign dari debate club, saya mulai mencari-cari UKM yang tersedia di kampus UIN Malang yang menarik minat saya. Awalnya mau pilih LKP2M (gak usah saya sebutkan kepanjangannya ya, lupa hahaha), gak jadi. Majalah Inovasi, juga gak jadi. Keduanya sama-sama UKM di bidang kepenulisan. Akhirnya terpikir ikut UKM Radio Simfoni FM. Sudah mengunjungi stan dan bahkan berkunjung ke studionya untuk lihat live proses siarannya. Tertarik? Yup, 90%. Saat itu bareng Tumila (nama komplit: Ria Kamilah Agustina hehehe...) karena ternyata dia juga minat di keradioan. Pada saat registrasi, saya pun mundur.
Why?
Prinsip yang saya pegang selama sekolah sampai kuliah ialah, “Tidak boleh bolos! Kalau sakit ringan saja, tetap harus masuk!” Nah, hampir semua, bahkan semua UKM melakukan diklat indoor mereka di jam perkuliahan. Itu yang buat saya rela mundur. Semua teman sudah daftar, termasuk Tumila yang beneran ikut Simfoni. Saya? Saat itu saya sejenak lupa pengen cari kesibukan di luar kuliah. Sampai suatu saat, teman kamar saya di ma’had kampus, Mami Rom, ngajak untuk daftar rekrutmen jurnalis sebuah tabloid yang dikelola Unit Informasi dan Publikasi, UIN Malang. Mereka butuh freelancer mahasiswa untuk mengisi berita di 24 halamannya.
Demi menghargai ajakan Mami, saya penuhi seluruh dokumen (copy KHS semester 1, surat lamaran, CV, foto muke gile, dan... itu aja kayaknya). Saya dan Mami mengantar seluruh dokumen di lantai 4 Gedung Rektorat dan disambut dengan hangat oleh Mas-Mas (later I knew that his name is Abadi Wijaya).
Proses rekrutmen dimulai, pertama kami disuruh menulis berita satu halaman A4 (hand writing). Selanjutnya langsung wawancara tentang minat dan motivasi. Setelah itu, saya berusaha melupakan (yeilaaa) rekrutmen itu dan kembali kuliah seperti biasa.
Beberapa minggu kemudian, saat di kelas Morphology, Bu Galuh Nur Rohmah (sang dosen pengampu yang cantik, pintar, dan tegas) tiba-tiba berbicara pada saya di tengah pembelajaran,
“Lho Nida, bukannya kamu harus ke Infopub sekarang?” I was puzzled.
“Belum lihat pengumuman?” Again and again, puzzled njelimet.
“Kamu harus ikut meeting awal diterima jadi reporter kampus sekarang.”
What?! Now? Saat kuliah? No! That’s NOT my style.
Tapi Bu Galuh bilang beliau mengizinkan saya untuk skip kelasnya minggu itu. Toh, saya sudah presentasi minggu sebelumnya. Saya pun dengan berat hati, cuuus ke lantai 4 Rektorat dengan info bi al Lisan. Sampai depan kantor Infopub, saya lihat pengumuman kalau saya dan 4 orang lainnya diterima di antara 20-an pendaftar. Senang? Pasti. Artinya saya punya kegiatan selain kuliah. However, My Mami gak diterima hiks. Padahal kan dia juga menggebu banget. Jadi gak enak sama Mami. Tapi dia tetap mendukung saya dan tetap bilang OK walau gak diterima *sigh*
Jadilah saya bagian dari tabloid kampus satu-satunya, GEMA. Tabloid resmi UIN Malang yang juga bertugas ngisi berita di laman resmi kampus. Ternyata gak semudah itu. Saya yang bukan multitaskers harus dibebani dengan tugas liputan yang datangnya gak pasti. 24 jam kalau perlu standby. Lebay? No. That’s real! 24 jam tidak selalu liputan. Kalau sewaktu-waktu kami harus mengkonfirmasi sesuatu walau itu waktu libur dan tidur pun harus dilakoni. Pengen nangis rasanya awal-awal. Tugas kuliah segitu numpuknya ditambah peliputan yang bisa juga numpuk untuk satu reporter.
Kalau dihitung-hitung, banyak gak enaknya. Say:
Tidak boleh nolak liputan
Kalau pun saat itu sedang kuliah, saya harus catch up acara setelah kelas berakhir. No complaint. Apesnya kalau pas yang diliput adalah seminar berbahasa Arab. Mati! Untungnya saat itu, kosakata bahasa Arab saya masih banyak (gak kayak sekarang hiks), jadi masih bisa menangkap beberapa poin dibantu dengan PDKT ke panitia acara hehehe...
Harus siap ditegur
Salah info bagi seorang jurnalis itu fatal. Saya pernah salah nulis nama salah satu tokoh penting negara dan ditegur oleh wakil rektor melalui Pimred. God! Sorry. Saya juga pernah dapat masalah karena salah menulis nama dekan terpilih salah satu fakultas (saat itu sedang ada pergantian pejabat kampus). Sebenarnya, itu bukan murni salah saya. Saya hanya ketiban apes reporter yang (agak) malas dan akhirnya menyuruh saya nulisin hasil liputannya. Berbekal catatannya lah saya nulis berita itu. Tapi wakil Pimred saat itu tidak mau tahu. Saya yang dinyatakan bersalah. Bukan teman saya. Jujur, jengkelnya masih sampai sekarang. Belajar dari itu, saya tidak mau lagi disuruh sama tuh reporter walau lebih tua sekalipun. Say NO to lazy person!
Narasumber ‘Ada Apanya’
Agak disgusting ya kalau ini. Ini adalah orang-orang yang suka banget diekspos dan mengeksis-eksiskan diri. Ada? Banyak. Berhadapan dengan mereka, awalnya, agak 'gross' gitu ya. Lama-lama, bisa lah kita nolak, “Gantian ya Bu/Pak. Banyak acara yang skalanya lebih besar untuk diliput.”
Dipermainkan
Saya tidak menyalahkan Allah memberi postur ala anak SD ke saya. Saya hanya menyalahkan pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan fisik saya ini for fun. Honestly, di awal memasuki GEMA, saya sering nangis karena hampir selalu menemui narasumber seperti itu. Diejek. Tidak dianggap. Tidak dipercaya. Dipermainkan dulu baru kemudian bersedia diwawancara. Saya kenyang itu semua!
Bahkan sampai sekarang nulis ini pun, I recall those bitter memories. Maaf, saya bukan tipe orang yang lupa dengan keburukan orang terhadap saya. Diejek sudah biasa memang tapi saya hidup bukan untuk menerima ejekan anda, wahai narasumber yang songong dan pongah! You just, get out of my sight!
Libur Gak Tenang
Saya ingat banget, masa liburan semester yang biasanya 1,5 bulan hanya saya nikmati 2 minggu karena kampus ramai acara pada saat liburan. Ya gimana lagi. Harus rela. Gak apa lah. Makanya kalau para reporter junior manja dan gak mau diganggu kalau liburan, rasanya pengen mutilasi.
Dan masih banyak lagi...
Enaknya? Juga banyak:
Dikenal Orang Penting
Salah satu yang ternikmat kalau saya bilang. Apalagi kalau pejabat tersebut adalah dosen sendiri. Hemm... you’ll get what you don’t expect. Saya gak bicara masalah duit lho ya, kan reporter gak boleh nerima duit dari narasumber. Apalagi narasumber yang hanya butuh namanya dicatat besar-besar #CariMuka.
Kenal Kampus Sendiri
Banyak lho mahasiswa yang bahkan nama wakil rektornya aja gak tahu. Nah lho. Dengan gabung bersama GEMA, kami harus tahu mereka. Gak harus semua sih, at least, orang-orang yang penting di setiap unit kampus. Saya sangat bersyukur untuk keuntungan satu ini. Walau ada yang bilang gak penting amat tahu pejabat, yang penting lulus kuliah. Maaf, saya gak sependapat. Mengenal mereka, berarti kalian juga akan tahu tahap perkembangan kampus. And to be one of witnesses of my own campus development is such a wonderful feeling.
---
Anyway, itu saja ya kayaknya. Saya berharap, para junior di Tabloid GEMA juga lebih serius dan gak manja. Harus memahami their initial intention pada saat daftar dan melaksanakan amanah seberapa pun beratnya amanah itu.
Sebagai yang udah senior (dan alhamdulillah masih dipercaya bahkan sampai setelah beberapa tahun lulus), saya pun tidak sempurna. Kekejaman saya ada alasannya. I went through those difficult times you never knew and I want you to be better than me.
Why?
Prinsip yang saya pegang selama sekolah sampai kuliah ialah, “Tidak boleh bolos! Kalau sakit ringan saja, tetap harus masuk!” Nah, hampir semua, bahkan semua UKM melakukan diklat indoor mereka di jam perkuliahan. Itu yang buat saya rela mundur. Semua teman sudah daftar, termasuk Tumila yang beneran ikut Simfoni. Saya? Saat itu saya sejenak lupa pengen cari kesibukan di luar kuliah. Sampai suatu saat, teman kamar saya di ma’had kampus, Mami Rom, ngajak untuk daftar rekrutmen jurnalis sebuah tabloid yang dikelola Unit Informasi dan Publikasi, UIN Malang. Mereka butuh freelancer mahasiswa untuk mengisi berita di 24 halamannya.
Demi menghargai ajakan Mami, saya penuhi seluruh dokumen (copy KHS semester 1, surat lamaran, CV, foto muke gile, dan... itu aja kayaknya). Saya dan Mami mengantar seluruh dokumen di lantai 4 Gedung Rektorat dan disambut dengan hangat oleh Mas-Mas (later I knew that his name is Abadi Wijaya).
Proses rekrutmen dimulai, pertama kami disuruh menulis berita satu halaman A4 (hand writing). Selanjutnya langsung wawancara tentang minat dan motivasi. Setelah itu, saya berusaha melupakan (yeilaaa) rekrutmen itu dan kembali kuliah seperti biasa.
Beberapa minggu kemudian, saat di kelas Morphology, Bu Galuh Nur Rohmah (sang dosen pengampu yang cantik, pintar, dan tegas) tiba-tiba berbicara pada saya di tengah pembelajaran,
“Lho Nida, bukannya kamu harus ke Infopub sekarang?” I was puzzled.
“Belum lihat pengumuman?” Again and again, puzzled njelimet.
“Kamu harus ikut meeting awal diterima jadi reporter kampus sekarang.”
What?! Now? Saat kuliah? No! That’s NOT my style.
Tapi Bu Galuh bilang beliau mengizinkan saya untuk skip kelasnya minggu itu. Toh, saya sudah presentasi minggu sebelumnya. Saya pun dengan berat hati, cuuus ke lantai 4 Rektorat dengan info bi al Lisan. Sampai depan kantor Infopub, saya lihat pengumuman kalau saya dan 4 orang lainnya diterima di antara 20-an pendaftar. Senang? Pasti. Artinya saya punya kegiatan selain kuliah. However, My Mami gak diterima hiks. Padahal kan dia juga menggebu banget. Jadi gak enak sama Mami. Tapi dia tetap mendukung saya dan tetap bilang OK walau gak diterima *sigh*
Jadilah saya bagian dari tabloid kampus satu-satunya, GEMA. Tabloid resmi UIN Malang yang juga bertugas ngisi berita di laman resmi kampus. Ternyata gak semudah itu. Saya yang bukan multitaskers harus dibebani dengan tugas liputan yang datangnya gak pasti. 24 jam kalau perlu standby. Lebay? No. That’s real! 24 jam tidak selalu liputan. Kalau sewaktu-waktu kami harus mengkonfirmasi sesuatu walau itu waktu libur dan tidur pun harus dilakoni. Pengen nangis rasanya awal-awal. Tugas kuliah segitu numpuknya ditambah peliputan yang bisa juga numpuk untuk satu reporter.
Kalau dihitung-hitung, banyak gak enaknya. Say:
Tidak boleh nolak liputan
Kalau pun saat itu sedang kuliah, saya harus catch up acara setelah kelas berakhir. No complaint. Apesnya kalau pas yang diliput adalah seminar berbahasa Arab. Mati! Untungnya saat itu, kosakata bahasa Arab saya masih banyak (gak kayak sekarang hiks), jadi masih bisa menangkap beberapa poin dibantu dengan PDKT ke panitia acara hehehe...
Harus siap ditegur
Salah info bagi seorang jurnalis itu fatal. Saya pernah salah nulis nama salah satu tokoh penting negara dan ditegur oleh wakil rektor melalui Pimred. God! Sorry. Saya juga pernah dapat masalah karena salah menulis nama dekan terpilih salah satu fakultas (saat itu sedang ada pergantian pejabat kampus). Sebenarnya, itu bukan murni salah saya. Saya hanya ketiban apes reporter yang (agak) malas dan akhirnya menyuruh saya nulisin hasil liputannya. Berbekal catatannya lah saya nulis berita itu. Tapi wakil Pimred saat itu tidak mau tahu. Saya yang dinyatakan bersalah. Bukan teman saya. Jujur, jengkelnya masih sampai sekarang. Belajar dari itu, saya tidak mau lagi disuruh sama tuh reporter walau lebih tua sekalipun. Say NO to lazy person!
Narasumber ‘Ada Apanya’
Agak disgusting ya kalau ini. Ini adalah orang-orang yang suka banget diekspos dan mengeksis-eksiskan diri. Ada? Banyak. Berhadapan dengan mereka, awalnya, agak 'gross' gitu ya. Lama-lama, bisa lah kita nolak, “Gantian ya Bu/Pak. Banyak acara yang skalanya lebih besar untuk diliput.”
Dipermainkan
Saya tidak menyalahkan Allah memberi postur ala anak SD ke saya. Saya hanya menyalahkan pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan fisik saya ini for fun. Honestly, di awal memasuki GEMA, saya sering nangis karena hampir selalu menemui narasumber seperti itu. Diejek. Tidak dianggap. Tidak dipercaya. Dipermainkan dulu baru kemudian bersedia diwawancara. Saya kenyang itu semua!
Bahkan sampai sekarang nulis ini pun, I recall those bitter memories. Maaf, saya bukan tipe orang yang lupa dengan keburukan orang terhadap saya. Diejek sudah biasa memang tapi saya hidup bukan untuk menerima ejekan anda, wahai narasumber yang songong dan pongah! You just, get out of my sight!
Libur Gak Tenang
Saya ingat banget, masa liburan semester yang biasanya 1,5 bulan hanya saya nikmati 2 minggu karena kampus ramai acara pada saat liburan. Ya gimana lagi. Harus rela. Gak apa lah. Makanya kalau para reporter junior manja dan gak mau diganggu kalau liburan, rasanya pengen mutilasi.
Dan masih banyak lagi...
Enaknya? Juga banyak:
Dikenal Orang Penting
Salah satu yang ternikmat kalau saya bilang. Apalagi kalau pejabat tersebut adalah dosen sendiri. Hemm... you’ll get what you don’t expect. Saya gak bicara masalah duit lho ya, kan reporter gak boleh nerima duit dari narasumber. Apalagi narasumber yang hanya butuh namanya dicatat besar-besar #CariMuka.
Kenal Kampus Sendiri
Banyak lho mahasiswa yang bahkan nama wakil rektornya aja gak tahu. Nah lho. Dengan gabung bersama GEMA, kami harus tahu mereka. Gak harus semua sih, at least, orang-orang yang penting di setiap unit kampus. Saya sangat bersyukur untuk keuntungan satu ini. Walau ada yang bilang gak penting amat tahu pejabat, yang penting lulus kuliah. Maaf, saya gak sependapat. Mengenal mereka, berarti kalian juga akan tahu tahap perkembangan kampus. And to be one of witnesses of my own campus development is such a wonderful feeling.
---
Anyway, itu saja ya kayaknya. Saya berharap, para junior di Tabloid GEMA juga lebih serius dan gak manja. Harus memahami their initial intention pada saat daftar dan melaksanakan amanah seberapa pun beratnya amanah itu.
Sebagai yang udah senior (dan alhamdulillah masih dipercaya bahkan sampai setelah beberapa tahun lulus), saya pun tidak sempurna. Kekejaman saya ada alasannya. I went through those difficult times you never knew and I want you to be better than me.
![]() |
Tiluliiiiiiit.... |
Kos, nunggu waktu ngantuk
Ngantuk... datanglah!
Komentar
Posting Komentar