My Trip by Matarmaja, Part III

[Coach and The People]
Tuing...tuing...tuing... *Lompat2SambilDadadada...*
Saya muncul lagi hehehe. Doyan banget emang nampakin muke-gile di depan orang-orang hahaha. Mumpung masih diberi kesempatan eksis sama Allah, saya syukuri dengan cara saya sendiri #OnyudWay!
Kali ini saya mau bahas seperti yang tercantum di judul. Gak tau artinya? Oke. Apa arti dari coach? No. Bukan ‘pelatih’ seperti istilah di sepakbola atau olahraga lainnya. Ini istilah di kereta api untuk ‘GERBONG’. Yup! You got a new word *KeepinMind* Ya. Saya akan bahas keadaan gerbong yang saya tempati selama PP Jkt-Mlg-Jkt, juga orang-orangnya hihihi. Tenang... insya Allah bebas dari gosip dan menjelek-jelekkan orang. Diri sendiri juga belum tentu bagus.
Oya, WARNING. It will be a long narrative, so buat Anda yang gak suka baca tulisan saya, diharap mundur dari sekarang ^,^v Oke, START!

Pada saat menuju Jakarta, alhamdulillah saya di’takdir’kan duduk dekat jendela. Jadi, bisa lihat pemandangan dari yang subhanallah sampe astaghfirullah melalui kaca jendela. Nah, penumpang lain yang ada di blok tempat duduk saya [no. 7-8] baru muncul dari stasiun [if I’m not mistaken] Tulungagung. Tiga orang yang kira-kira sudah berumur lebih dari 50 tahun. Dua wanita dan satu laki-laki. Setelah saya perhatikan, ada yang pasangan suami-istri [duduk berhadapan dengan saya] dan wanita satunya lagi duduk di samping saya.
Menurut saya, tiga orang ini, kayak saya #sombong, juga sangat well-prepared untuk perjalanan jauhnya. Mereka bawa termos besar untuk air panas, gelas tiga, nasi sebaskom ukuran sedang, aneka lauk yang tertata rapi di picnic-case, plus kue-kue dan camilan lainnya. Lengkap banget kan? Kalo preparation ala saya sih, cuma bawa nasi plus lauk seporsi [masak sendiri #ehem!], minuman 3 botol, dan camilan yang sama sekali gak saya sentuh.
Saya sempat ditawari sama sepasang suami-istri itu untuk nyoba cake coklat buatan mereka. Saya menolak berkali-kali [karena nawarinnya juga berkali-kali]. Bukan curiga sih, saya yakin 100% kok kalau mereka bukan nabeun saram alias orang jahat. Wong, camilan saya aja gak saya sentuh, masa’ saya mau makan punya orang? Saya sangat khawatir dengan tubuh saya yang kadang tidak bersahabat. Kalau saya kebanyakan makan, saya cenderung bolak-balik toilet untuk... tahu lah. Kalau kebanyakan minum, sama aja. Makanya, setiap perjalanan jauh seperti ini, saya cenderung menahan hasrat makan-minum saya. Untuk sekedar emut-emut [hadeeeh bahasanya], saya biasanya sedia beberapa permen.
Mungkin, saking geregetannya sama saya, akhirnya si Ibu 1 [yang duduk depan saya], ngiris sebongkah [irisannya tebal banget] cake coklatnya dan langsung digenggamkan di tangan saya hiks. Buuu... tahukah Anda kalau saya tidak terlalu menyukai makanan bernama roti walau rasanya favorit saya, coklat? Ya gak tahu lah, kan saya gak bilang langsung ke Ibunya huhuhu... akhirnya, terpaksa tuh cake saya makan walau terasa...... hemmmm ennnaaaak bangeeeet nih cake ternyata. Si Ibu pintar banget buatnya. Waduuuh, irisannya kurang tebal, Buuuu hahaha #Kosek!
Ada hal yang membekas di benak saya sampai sekarang tentang suami-istri itu. Just one sincere sentence, “They are an exceedingly sweet couple!” Dari interaksi mereka, dialog, tutur-kata, bahasa tubuh dan segala gerak-gerik yang saya perhatikan, I’m in no doubt telling you that they have an enormous LOVE for one another. Walau saya bukan an expert of love, I know and am sure, dari pancaran mata atau cara si Bapak memandang Ibu 1 saat berbicara, that they got married because of a pure and huge love. #SoSweet ~
Foto 'Sweet Couple' Yg saya ambil diam2
Apalagi saat si Bapak godain si Ibu 1 yang bingung nentuin posisi tidur di kursi atos kereta Matarmaja, dan juga reaksi si Ibu 1 terhadap godaan #eciyeee si Bapak. Mungkin, karena kasihan merhatiin si istri yang ganti-ganti cari posisi wenak buat tidur, akhirnya si Bapak geser ke pinggir just to give his wife enough space for having a nice sleep. Puncaknya, si Bapak ngasih kode sambil nepuk-nepuk bahunya yang saya terjemahin:
“Lean your head on my shoulder because it’s already and initially prepared for you from the beginning.” Dan si Ibu 1 pun menyandarkan kepalanya.
Hwaaah... apa-apaan nih, si Bapak emang benar-benar subhanallah peduli, sayang, cinta, [and so on, and so on...] ke Ibu 1. Pada saat lihat romantic scene on the train itu, rasanya saya pengen mukul-mukul orang saking senangnya [kebiasaan kalo lagi senang dan heboh]. Tapi karena gak ada yang dipukul dan dicubit, jadi saya cuma tersenyum dan berdoa:
I really hope it will last forever #Amin! “God, please save their pure LOVE.”
~~~~
Pengalaman berbeda saat perjalanan balik ke Malang. Pada saat saya mendaratkan diri di kursi kereta, saya lihat dari jendela ada cowok yang cute, berkacamata, dan menurut saya agak terlihat cupu lagi kebingungan cari gerbong dan nanya-nanya ke satpam di depan jalur 1 tempat Matarmaja. Entah, tapi dalam hati saya berharap semoga tuh cowok duduk di depan saya, di kursi blok no. 15-16. *tepukjidat*
And... here he comes!
Criiiiiiiiiiiiiiiiiiing... dia muncul di gerbong no. 3 dan celingak-celinguk cari nomor sesuai tiket yang didapat. Daaaan... “Oh, ini!” hwaaah... beneraaaan, di blok saya.
“Nomor berapa?” Saya sok nanya buat mastiin gitu.
“15 E.”
#glodhak!!
Apa-apaan ini.....
Itu kan tepat di samping saya. Satu kursi sama saya. Bukan berhadapan. Sekali lagi. SE-BLOK, SEKURSI dan parahnya DI SAMPING SAYA. Hwaaaah... *tralala...trilili* Jadilah dia duduk di samping saya dan saya tak berkutik. Bukan. It’s not a nervous. Tapi, sebenarnya, YES, I felt nervous. Hahaha Astaghfirullah. Onyuuud... what is wrong with you? Come to your sense!
OK! Sadar!!
“Mbak, turun mana?”
“Malang. Kamu?” [*entah kenapa, saat itu, saya tidak menggunakan ‘Mas’ seperti yang saya gunakan kalau ketemu cowok asing. Saya hanya yakin, he’s younger!]
“Kediri.” #Hemmmmfffh! Entah kenapa saya sedikit #glodhak dan gak #nervous lagi.
“Tapi sebenarnya rumah saya di Nganjuk, Mbak, cuma biasanya keretanya gak berhenti di sana jadi yang paling dekat ya stasiun Kediri,” tanpa saya minta, dia ngasih penjelasan. Saya hanya bereaksi, “Oooh, I see!” sambil senyum #ikhlas.
Dalam hati, “Iddiiih... siapa yang nanya?” hehehe #peace,bro! Tapi karena penjelasannya ini saya pun ber-hamdalah dalam hati hahaha... ampuuuun!
Ada yang buat saya lega lagi nih, hingga perjalanan memasuki Jawa Tengah, kursi depan saya kosong. Akhirnya, biar gak dempetan sama tuh cowok, saya pun pindah dan selonjoran sambil asik dengan music-player sebelum akhirnya dia mengajak bicara.
Setelah ngobrol-ngobrol, I found that he was a student in Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta #cool. Calon abdi negara ternyata ^.^ Be an honest civil-servant, ya Dek! Gak boleh ikut-ikutan korupsi.
Selanjutnya, dia mulai nanya-nanya, “Menurut Mbak, Jakarta tuh panas gak sih?”
“Ya, iya lah. Gak liat nih keringat netes-netes,” tapi, tenang, nada bicara saya gak judes seperti biasanya kok. Dia hanya nyengir.
“Saya udah 4 tahun di Jakarta tapi tetap gak adaptasi sama panasnya.”
“Ya, sama. Saya 5 tahun di Malang tapi masih gak kuat cuaca dingin, padahal Malang udah gak terlalu dingin.”
“Iya ya. Kalo di Surabaya, apa sepanas di Jakarta ya, Mbak?”
Dan obrolan pun berlanjut tentang perbandingan cuaca panas di kota-kota besar Indonesia oleh si cowok [yang tidak saya tanyakan namanya]. Hadeeh, buat apa coba dia nanya gitu.
“Lha, kamu kan mau kerja di Jakarta lagi. Ya dibetah-betahin dong.”
“Pengen sih milih yang di luar Jakarta.”
“Ya udah, Surabaya aja. Gak terlalu jauh dari Nganjuk.”
“Gak ah, Mbak. Di sana panasnya nyengat, masih mending panas di Jakarta.”
“Pindah aja noh di Nganjuk, kan windy city.”
“Di sana bukan BPS (Badan Pusat Statistik, Red.) pusat.”
“Di Malang, kan ada BPS juga.”
“Ah mending di Jakarta, Mbak.”
“Iddiiih... ribet amat nih orang.” Dia nyengir lagi. Huuuh, pengen tak kosek #klothak
Telling you the truth, nih cowok #swear doyan banget ngomong. Saya juga cerewet sih, sodara-sodara, tapi ketika di perjalanan [by Bus or Train] saya memilih untuk banyak diam karena, I don’t know for what reason, kecerewetan saya hilang sejenak saat itu. However, how hard I tried to show the signal that, “I need to be in silent and peace,” si cowok gak ngerti juga. Tapi, satu, saya kagum sama dia, karena dia tidak pernah kehabisan tema untuk dibahas dengan saya. Sebut apa aja yang saya obrolin dengan dia:
Panas kota-kota besar #hadeh, kuliah, kerjaan, gaya hidup mahasiswa, teman-teman, ngajarin sedikit bahasa Inggris, benerin pronunciation, and so on, and so forth. Wooow... daebak!!
Dia adalah teman ‘ketemu di jalan’ yang sangat obstinate untuk ngajak ngomong saya di sepanjang jalan. You know, that was my first time having a long-long whatever conversation with a stranger. Di balik wajah lugunya, he’s really talkative. Heeeeghhhh #SenamMulutSukses.
Saat kereta berhenti di stasiun Semarang Poncol, datanglah seorang cowok lagi dan tiba-tiba duduk di kursi dekat saya [yang awalnya kosong]. Haduuuh, semalam saya gak mimpi indah deh kayaknya. Kok hari itu saya dapat rejeki bronis yaaa huhuhu #terharu
Setelah diajak ngobrol sama cowok 1, ternyata cowok 2 adalah mahasiswa Universitas Diponegoro semester tiga, entah jurusan apa. Saya juga gak terlalu nyimak percakapan 2 cowok itu. Again and again, si cowok 1 nanya:
“Eh, di Semarang panas gak?” #glodhak. Gak berhenti situ aja, selanjutnya:
“Bojonegoro panas gak?” Karena ternyata cowok 2 orang Bojonegoro.
“Surabaya panas banget ya?” Si cowok 2 ternyata sempat sekolah juga di Surabaya.
Saya hanya memandang cowok 1 dengan tatapan #aneh. Selanjutnya lagi:
“Tuh Mbak, Surabaya ternyata lebih panas soalnya dekat laut.”
“Kamu tuh ya, jauh-jauh kuliah di STIS cuma buat nyurvei panas?! Proyek pertama ya?” Hehehe... dia nyengir lagi *Kosek3kali* Si cowok 2 hanya senyum-senyum melihat reaksi saya. “Dari tadi nih orang kerjaannya nyurvei panas emang,” cowok 2 angguk-angguk, “Oooh...,” dan tersenyum geli.
Setelah ngobrol kesana-kemari, si cowok 2 bilang:
“Banyak yang batalin tiket kali ya?” Soalnya, saat itu, alhamdulillah, banyak kursi yang kosong di gerbong no.3 hehehe... “Padahal sebenarnya saya nih gak dapat tempat duduk,” dia lanjut bicara.
“Lho? Kok bisa gitu?” Dahi saya kerut-kerut.
“Mbak gak tahu? Kan kereta gitu Mbak. Kalau misalnya kita pesan akhir-akhir, kita tetap dapat tiket tapi tanpa kursi.”
“Setahu saya, sekarang tidak boleh ada yang berdiri. Jadi jumlah penumpang disesuaikan jumlah kursi,” cowok 1 ikut angguk-angguk dengar penjelasan saya.
“Beneran, Mbak. Nih liat tiket saya,” nyodorin tiketnya. Setelah saya lihat...
Yha Ellaaaah...
Hellooo!! Ini nih cuma cetakan tulisan nomor kursinya aja yang nyamping,” sambil saya nunjuk ke arah tiket yang emang cetakannya condong ke kiri, jadi di bawah tulisan ‘Kursi Nomor:’ itu kosong. Nah, dikira cowok 2, dia dapat tiket tanpa kursi. Huuuuh... pengen tak jendhul 10 kali. Cowok 1 ikut perhatiin sambil bilang, “Iya nih.”
“Daaan... ini bukan tempat kamu. Nih lihat yaa... tulisan di sini K3AC-2, itu artinya kamu di gerbong no. 2. Ini gerbong 3, sono tuuuuh gerbong kamu,” cowok 1 akhirnya ngakak dengerin aksi ‘agak’ sadis saya ke cowok 2.
“Terakhir kali naik kereta kapan sih?” Cowok 1 ikutan.
“Awal tahun lalu kayaknya,” cowok 2 jawab datar.
“Hahaha... lama bangeeeet. Makanya bingung,” cowok 1 tambah ngakak.
“Gak update sih. Kereta api sekarang gak se-GeJe dulu kaleee... sekarang udah teratur jadi gak ada yang dapat kursi kosong. Pemegang tiket ya dapat kursi. Gak ada kursi ya tiket HABIS,” cowok 2 angguk-angguk masih merhatiin tiketnya.
Hahaha... sumpah saat itu kocak banget. Rasanya saya sangat menikmati aksi ‘tidak-sengaja’ mem-bully orang asing di kereta. Cowok 1 apalagi [I found out unintentionally that his name is Udin], kayaknya tuh anak puas banget nemuin ada seonggok manusia yang gak update. Mwahahaha... SERU bin RAME!!
Saya bisa lihat cowok 2 mulai merasa gak nyaman nempati kursi yang bukan haknya. Untuk mengakhiri aksi bully, saya pun bilang sok bijak:
“Udah di sini aja gak apa-apa. Kayaknya gak bakalan ada yang nempatin juga,” cowok 2 pun tersenyum.
“Iya di sini aja, tapi kalau tiba-tiba ada yang datang, kamu pergi ke gerbong 2 ya? Hahaha...” Ya ampuuuun si cupuuu... Kan saya lagi berusaha nyelesaiin pembullyan #Kosek20kali plus #Mutilasi
Honestly speaking, sampai saat itu, that was the most interesting trip I had by train. Gak sepi [ya iya laaah, diajak ngemeng teruuus], geregetan [karena diajak ngemeng terus], dan seru. Ya karena bertemu dua cowok bronis yang aneh tadi hihihi...  Sebenarnya saya berdoa saat itu tidak ada yang nempati kursi di depan saya, jadi saya bisa selonjorin kaki yang kaku kalau kelamaan duduk di kursi atos Matarmaja. Hmmm... belum terkabul doanya. Coba lagi! Tapi no-problem karena asyik!
Ya Allah, lain kali, kalau saya naik kereta, atau pesawat, atau bis, semoga saya selalu dapat tempat dekat jendela. Juga, semoga kursi di kereta Eko gak atos lagi sehingga punggung kami [pelanggan] tidak kaku dan saya tidak perlu nangis malam harinya karena kaki yang keram. Amiiiin.


Kamar Kos, 25 Oktober 2013

Komentar

  1. amiinn...
    sama dapat brownies lagi yang agak kalem, biar bisa diperhatiin pas lagi suntuk mbak..hwwahahaaa

    hadhuuhhh apa-apaan ini cerita....ckckckckkk
    ada unsur sweet-nya.. ada juga pamer browniesnya...
    tapi luuucccccuuuuuu hwahahahahaaaa
    untung lagi sendirian, klo ada orang, bisa-bisa dikirain perlu obat sy, ngakak" dhewe...heheheee

    mau lanjut ke part 4 aaahh....hehehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang situ doyanx ngakak dewe kok Dongs....
      inget Doooongs... jangan sering2 ketawa sendiri... byk setannya hihihihihihihihi

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Friendship Life [Part IV]

Timun Emas: Nenek Gak Sabar, Buto Ijo Gak Ikhlas

BUKAN UNTUK DIMAKLUMI, TAPI DISADARKAN