Our Parents' Faces

Setiap tahun, UIN Maliki Malang layaknya kampus-kampus lainnya menambah keluarga baru alias menerima mahasiswa baru. Dan setiap tahun itu pula ada pertemuan orangtua/wali. Dalam acara silaturrahim itu, Rektor selaku tuan rumah menyambut hangat dan mengenalkan secara general tentang seluk-beluk, kegiatan, hingga tradisi universitas. Tapi, bukan inti sambutan dari Rektor yang ingin saya tulis di sini.
Sudah dua kali ini saya menyaksikan secara langsung perhelatan silaturrahim itu. Bukan karena saya sedang mewakili seorang mahasiswa baru atas nama keluarganya, tetapi karena saya melaksanakan tugas dari sebuah unit kampus. Dua kali itu pula saya ingin menitikkan air mata ketika berada di tengah para orangtua. Entah kenapa, acara ini terasa sangat sakral bagi saya selain acara wisuda yang memang sudah pasti sakral dan hikmat.
Dalam acara silaturrahim keluarga baru kampus ini, saya melihat berbagai macam wajah orangtua. Walaupun bermacam-macam karakter wajah, ada satu hal yang menurut saya sama; yaitu sesuatu yang terpancar dari wajah-wajah itu. Setiap melihat wajah para orangtua itu, saya seakan melihat siratan kebanggaan sekaligus harapan. Dua implikasi ini tercermin dari tutur kata mereka ketika menyampaikan uneg-unegnya kepada Rektor. Bahkan beberapa, saya lihat, hampir dan sukses menitikkan air mata.
Saya akui, mata saya juga sempat berair karena menahan jatuhnya air mata. Menyaksikan bagaimana harunya suasana hati orangtua ketika melepas anak-anaknya di dunia yang berbeda, jauh dari jangkauan lindungan mereka. Melepas anak yang bisa jadi selama hidupnya belum pernah jauh dari orangtua. Mungkin ada perasaan cemas ataupun sedikit tidak rela, tetapi harus dilepas karena masa depan anak bukan tergantung pada orangtua.
Di tengah-tengah peliputan acara silaturrahim, saya berpikir, apa seperti ini juga yang dirasakan orangtua saya ketika melepas anak-anaknya yang, semuanya, belajar di luar kota. Saya yakin tidak akan berbeda dengan layaknya semua orangtua. Saya pun sempat melihat wajah tidak rela dari Ibu, yang biasa saya panggil Mama’, setiap melepas kepergian 4 orang anaknya kembali ke kota tujuan; Jakarta, Malang, Surabaya, dan Gresik. Tapi ditengah pias wajah yang tidak rela itu, Mama’ pasti melepas kami semua dengan tersenyum. Senyum itu seakan mengatakan, “Pergilah, Nak! Dan kembalilah dengan membawa kebanggaan!” Bagaimana dengan Bapak saya? Mungkin saja tidak jauh beda dengan Mama’. Hanya saja, seorang lelaki pasti lebih pandai menyembunyikan perasaannya dibanding wanita.
Kembali lagi ke acara silaturrahim kampus, saya kadang berpikir, “Kenapa pada acara ini yang dihadirkan hanya orangtua? Bukankah ada baiknya para mahasiswa baru juga diikutkan?” Alasan saya cukup sederhana, saya ingin sekali anak-anak itu melihat langsung wajah orangtua mereka saat mendengar sambutan dari Rektor dan juga melihat betapa haru dan harapnya orangtua kepada mereka. Saya juga ingin, anak-anak itu melihat sendiri ketika orangtua mereka menitikkan air mata karena menyimpan kebanggaan dan harapan yang teramat sangat.
Dengan melihat sendiri, saya yakin, tidak akan ada ceritanya anak yang berandalan di luar pantauan orangtua mereka. Karena, setiap akan melakukan sesuatu yang minus, pikiran mereka akan flash back mengingat wajah orangtua di rumah yang menumpuk harapan hari demi hari. Juga, tidak akan ada ceritanya mahasiswa yang terlalu lama menempuh masa studi karena faktor malas. Dengan alasan, ketika mengingat wajah penuh harap orangtua, mereka akan semakin terpacu untuk benar-benar serius belajar.
Kadang saya berimajinasi, “Seandainya ada 1 hari saja untuk bertukar peran orangtua-anak.” What would it be?

USA33, 7 Agustus 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Timun Emas: Nenek Gak Sabar, Buto Ijo Gak Ikhlas

Friendship Life [Part IV]

BUKAN UNTUK DIMAKLUMI, TAPI DISADARKAN