BOHONG-ku
Sebenarnya ada nggak sih orang yang suka bohong? Saya rasa tidak ada. Bahkan, orang yang setiap harinya selalu berkata bohong sebenarnya juga tidak suka menjadikan bohong sebagai habit-nya. Saya yakin, dia sadar sudah menyembunyikan fakta, tapi tidak bisa menghindari karena, ya itu, lisannya sudah terformat untuk terbiasa berbohong. Na’udzubillahi min dzaalik.
Tidak ada yang suka berbohong karena sama sekali nggak ada untungnya. Kenapa nggak ada untungnya?
Coba deh ditilik lagi bagi yang pernah berbohong #saya yakin semua pernah berbohong :-) ketika kita melakukan atau mengatakan suatu kebohongan, apa pernah hati menjadi lebih tenang? Apa pikiran jadi lebih terorganisir? Apa iya setelah berbohong, kegundahan sirna? That’s really impossible and even NEVER be, sodara-sodara. Yang terjadi, justru sebaliknya. Perasaan akan semakin gundah, gelisah, nggak tenang dan sebagainya, karena khawatir ketahuan kalau sebenarnya kita menyembunyikan kebenaran. Benar nggak sih kayak gitu? Dibenerin aja deh, karena memang seperti itu adanya.
Coba deh ditilik lagi bagi yang pernah berbohong #saya yakin semua pernah berbohong :-) ketika kita melakukan atau mengatakan suatu kebohongan, apa pernah hati menjadi lebih tenang? Apa pikiran jadi lebih terorganisir? Apa iya setelah berbohong, kegundahan sirna? That’s really impossible and even NEVER be, sodara-sodara. Yang terjadi, justru sebaliknya. Perasaan akan semakin gundah, gelisah, nggak tenang dan sebagainya, karena khawatir ketahuan kalau sebenarnya kita menyembunyikan kebenaran. Benar nggak sih kayak gitu? Dibenerin aja deh, karena memang seperti itu adanya.
Saya pun pernah berbohong. Makanya, saya tahu persis bagaimana perasaan orang yang telah melakukan tindak kriminal berupa kebohongan. Bahkan, baru-baru ini, saya telah melakukan kebohongan secara berjamaah alias berkomplot. Nggak tanggung-tanggung, obyek kebohongan atau orang yang dibohongi adalah orang-orang yang sangat berjasa dalam kehidupan saya, my parent #OMG!
Saya sama sekali nggak bisa bilang kalau nggak ada niat berbohong karena memang kebohongan ini direncanakan jauh-jauh hari dengan partner in crime saya. Partner saya inilah otak, biang kerok, dan perencana (apa bedanya?) dari semua aksi kebohongan yang saya lakukan. Bisa dibilang saya hanyalah orang suruhan #nasib tragis jadi pesuruh orang :-( Siapakah partner saya ini? Tak lain dan tak bukan (halaah) adalah kakak satu-satunya yang memang hobinya menyuruh-nyuruh saya hwaaaa. Kenapa saya yang disuruh? Mungkin karena dipikir saya adalah orang terbaik sedunia yang bisa meng-cover kebohongannya atau bisa juga dibilang, saya adalah sasaran empuk untuk dijadikan tameng @_@
Kisah kebohongan ini dimulai dari adanya long-weekend bagi para pekerja. Momen ini tentu saja tidak dilewatkan seorang ‘kakak saya’, sebut saja namanya Bejo (nama disamar-samarkan hehe), yang sehari-harinya bekerja di sebuah instansi pemerintah ibukota Indonesia. Rencananya, dia ingin mengisi liburan ini untuk memuaskan hobinya naik gunung. Maklum dia adalah seorang pecinta alam (cuiiih) yang lebih mencintai naik gunung daripada mencintai adiknya sendiri :-) Karena tidak mungkin meminta izin dari orangtua yang sudah pasti tidak akan mengizinkan #khawatir lah boo! Akhirnya, saya lah yang diminta (kata diminta sebenarnya terlalu sopan), lebih tepatnya diperintah, untuk menjadi supporting character dalam ceritanya. Singkat kata, nggak usah panjang-panjang ceritanya, saya dititipi pesan untuk disampaikan pada ortu kalau Kak Bejo akan pulang hari Senin setelah turun gunung. Tentu saja, kata-kata “setelah turun gunung”nya tidak saya lampirkan dalam laporan di hadapan ortu, bisa ketahuan dong kalau dia naik gunung secara backstreet. Kenapa saya yang dititipi pesan? Karena saya juga sedang memanfaatkan masa long-weekend untuk pulang kampung. Lumayan untuk sekedar refresh pikiran dari beban 6 sks skripsi +_+
Tak hanya disuruh menitipkan pesan pada ortu, dengan tragis dan sadisnya, si Bejo menyerahkan setelan baju kantornya dan dengan santainya bilang, “Tolong dicucikan ya?” Huweeeek sok manis lagi wajahnya. Yang saya nggak habis pikir, kok saya dengan manutnya meng-IYA-kan suruhan-suruhan itu? Bagai kerbau dicocok hidungnya. Sebenarnya, nurut saya beralasan kok. Sebagai seorang supporting character dalam cerita “Kebohongan Bejo”, tentunya saya nggak mau gratis-an ^_^ ada royalti yang harus saya terima untuk melakukan itu semua. Thanks, Bro! Hahaha... Astaghfirullah.
Misi penyampaian pesan sukses. Tapi, yang nggak saya kira, ortu cewek alias Mama’ tercinta tanya, “Memangnya ketemu kakakmu dimana? Kok tahu kalau mau pulang Senin?”
#dieeeeng..!! Harus bohong apalagi nih, pikir saya. Akhirnya yang meluncur dari bibir gemetar ialah, “Mmm.. tadi sms-nya gitu kok.” Hyaa... sms? Pake bawa-bawa layanan provider segala nih.
Hari berikutnya, si Mama’ tanya dengan gelisah, “Ya, kok kakakmu ditelepon nggak nyambung?” #Gubrak! Saya bisa saja jawab dengan entengnya, “Di gunung kan nggak ada sinyal, Ma.” Tapi nggak mungkin dong, ketahuan kalau sms kemarin hanya bualan.
Waduh Tuhan... apa saya harus bohong lagi. Tidak! Saya nggak mau bohong lagi! Itu tekad saya. Saya pun menjawab, “Aku nggak tahu Ma. Mungkin aja hape-nya lagi dimatiin.” Cerdas! Saya nggak bohong dong dan juga tidak melanggar kontrak yang disepakati dengan si Bejo.
Sebenarnya ada pikiran yang mengganjal selama di rumah, “Kapan waktu yang tepat untuk mencuci pakaian si Bejo?” Baju ini, ibaratnya, bisa menjadi boomerang bagi saya dan Bejo. Akhirnya, di Sabtu pagi yang sepi, saya mengendap-endap ke belakang rumah untuk mencuci baju. Keputusan ini diambil karena hari Minggu-nya saya harus balik lagi ke Malang. Selesai mencuci, saya pun mulai berpikir, bagaimana agar 2 potong pakaian Bejo ini tidak ketahuan oleh ortu. Dengan sedikit ragu, saya pun menjemur baju Bejo dengan menyelipkannya diantara baju-baju yang saya cuci. Pas! Semoga tidak ketahuan.
Sore hari yang menggemparkan, “Ya, kok ada bajunya kakakmu dibelakang? Kamu ketemu kakakmu dimana?” Astojiiim... Ooops, Maha Benar Allah dengan Segala Firman-Nya (Glodhak!), ketahuan sudah. Rasanya, massa wajah ini bertambah 50kg karena saya merasa berat untuk menghadapkannya ke wajah Mama +_+ Ommoo..!! Wajah beliau saat itu penuh selidik. Saya pun semakin pasrah dengan berkata, “Sebenarnya kemarin aku ketemu Kak Bejo di Malang.” Dengan sengit Mama berucap, “Lha kok nggak pulang?” Ya Allah, bagaimana ini, ampuni aku untuk kesekian kalinya. “Katanya dia mau main ke rumah temannya,” Oh Gosh, bohong lagi :-(. “Ketemu kakaknya di Malang nggak bilang. Sama orang tua kok bohong.” Hiks. Awas kamu Bejo!
Sebagai sanksi-nya, saya tidak boleh balik dulu ke Malang. Bejo harus datang dan menjelaskan sendiri persoalannya ke ortu. Dia-lah orang yang akan membuktikan bahwa I’m innocent #Lebay.
Akhirnya di hari Senin, sebelum si Bejo sampai di rumah, saya pun bersiap-siap ngacir ke Malang. Saya tidak mau ada di tengah situasi genting hehehe. Biarlah si Bejo yang menyelesaikan urusannya dengan ortu. Saya pun kembali ke Malang dengan perasaan campur aduk; merasa bersalah setelah berbohong pada ortu, jengkel yang teramat sangat pada Bejo, jengkel sama diri sendiri yang mau-maunya disuruh Bejo, dan satu lagi, perasaan takut dimarahi murobbiyah karena telat balik ke asrama ^_^ Ampuni akuuu!!
Wes to, bohong tuh nggak ada enak-enaknya! Nikmatnya Cuma di awal, tapi perasaan yang kita tanggung setelah berbohong akan selalu membekas sampai kita sendiri yang mengakui kebohongan itu.
Bagi yang masih ingin mencoba atau menambah kebohongan, mikir-mikir lagi deh. Mending kita bareng-bareng format ulang lisan ini biar nggak ngotori hati dengan dosa bohong. Kalau memang tetap kukuh memilih bohong sebagai aksi, siap-siap lidahnya kebakar di neraka ya :-) Hiiiy... na’udzubillah.
Note: Mom n Dad, I’m so sorry for telling a fib. Ustadzah, I’m sorry for being late. Kak Bejo, you really drove me to be a criminal in fib @_@
[Tulisan Lama]
Perpus UM , 9 Juni 2011
Komentar
Posting Komentar